Siapa Bilang Agustusan Bukan Belajar?

Menghadirkan Pembelajaran Mendalam melalui Perayaan HUT RI

“Pendidikan adalah proses menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
Ki Hadjar Dewantara

Setiap menjelang 17 Agustus, sekolah-sekolah di Indonesia mulai bergelora: persiapan upacara, latihan baris-berbaris, dekorasi, pawai budaya, dan aneka lomba mengisi kalender harian. Tapi di tengah semangat itu, sering muncul kalimat:

“Tidak ada pelajaran dulu ya… Kita fokus Agustusan.”

Pernyataan ini menggambarkan cara pandang yang terpisah antara “belajar” dan “berkegiatan”. Seolah keduanya tidak bisa hadir bersamaan. Padahal justru sebaliknya—bulan perayaan kemerdekaan adalah ruang emas untuk pembelajaran yang bermakna, mendalam, dan kontekstual.

Belajar Tidak Harus Terjadi di Kelas

Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah proses menuntun hidup, bukan sekadar mentransfer ilmu. Demikian pula dalam teori Constructivism (Bruner, Vygotsky), pembelajaran terbaik terjadi ketika murid terlibat aktif, membangun makna dari pengalaman nyata.

Agustusan adalah panggung pendidikan: tempat anak-anak belajar bekerja sama, mengekspresikan diri, mengasah emosi, memahami sejarah, dan merayakan identitas. Jika dipandu dengan baik, kegiatan ini bukan sekadar seru-seruan, tetapi menjadi proses pendidikan utuh: kognitif, sosial, emosional, dan nilai.

Kegiatan Agustusan bukan sekadar perayaan, tetapi dapat menjadi ruang untuk pembelajaran mendalam—yakni pembelajaran yang berakar pada konteks kehidupan nyata, membentuk pemahaman esensial dan transfer pengetahuan, mengembangkan nilai serta identitas diri, serta mengasah kecakapan abad 21 seperti kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, dan kreativitas. 

Bila dirancang dengan niat pedagogis yang jelas, setiap kegiatan Agustusan dapat menjadi ruang aktualisasi Profil lulusan: murid belajar bernalar kritis lewat debat tentang makna kemerdekaan hari ini, menunjukkan kemandirian saat mengorganisasi lomba antar kelas, mengekspresikan kreativitas melalui poster dan pertunjukan seni, melatih gotong royong saat menghias lingkungan sekolah, merayakan keberagaman lewat pawai budaya, dan merefleksikan nilai spiritualitas melalui puisi atau doa untuk para pahlawan. 

Secara lintas mata pelajaran, guru pun dapat merancang pembelajaran kontekstual: menulis surat reflektif di Bahasa Indonesia, berdiskusi tentang perjuangan masa kini di IPS, melakukan riset teknologi lokal dalam IPA, menciptakan infografis sejarah digital dalam Informatika, menggunakan AI untuk membuat puisi kemerdekaan, membahas etika warga negara di PPKn, hingga mementaskan drama sejarah di Seni Budaya. Semua itu adalah pembelajaran yang hidup—bukan jeda dari pelajaran, melainkan justru inti dari pendidikan.

Bukan Soal “Ada Pelajaran atau Tidak”—Tapi Cara Merancangnya

Tantangan utamanya bukan pada aktivitas, tetapi pada desainnya.

Tanpa kerangka pedagogis, Agustusan hanya menjadi acara seremonial. Tapi dengan perencanaan bermakna—tujuan belajar, keterkaitan lintas disiplin, dan ruang refleksi—setiap murid akan mengalami pembelajaran yang hidup, penuh makna, dan relevan dengan zamannya.

Langkah Praktis untuk Guru dan Sekolah

Agar perayaan 17 Agustus menjadi bagian dari pembelajaran yang bermakna dan tidak sekadar kegiatan seremonial, guru dan sekolah dapat melakukan strategi konkret berikut:

1. Sisipkan Refleksi Harian dalam Setiap Kegiatan Agustusan

Setiap selesai aktivitas—entah itu latihan upacara, lomba kelas, atau pawai budaya—berikan waktu singkat 5–10 menit untuk murid menulis atau berdiskusi:

  • Apa yang mereka rasakan?
  • Apa tantangan yang mereka hadapi?
  • Nilai atau pelajaran apa yang mereka dapatkan hari ini?
    Gunakan media sederhana seperti post-it wall, voice note, atau papan refleksi kelas. Refleksi ini memperdalam pengalaman dan menumbuhkan kesadaran diri.

2. Gunakan Pendekatan Lintas Mata Pelajaran (Interdisipliner)

Kolaborasikan kegiatan Agustusan dalam bentuk proyek lintas mata pelajaran. Contoh:

  • Tema lomba bercerita yang dikurasi bersama guru Bahasa Indonesia, IPS, dan Seni.
  • Proyek sejarah lokal dikaitkan dengan seni visual dan presentasi digital.
  • Pembuatan dokumenter perjuangan di kampung sekitar, digarap oleh tim kelas sebagai proyek integratif (Bahasa, IPS, Informatika).
    Libatkan tim guru dalam lesson study ringan untuk menyelaraskan tujuan lintas disiplin.

3. Melibatkan Murid dalam Pengambilan Keputusan

Berikan ruang kepada murid untuk merancang sebagian kegiatan Agustusan, misalnya:

  • Membentuk panitia kecil dari berbagai kelas.
  • Memilih jenis lomba yang inklusif dan relevan.
  • Menyusun tata tertib kegiatan dengan dasar nilai Pancasila.
    Hal ini memperkuat student agency dan melatih keterampilan organisasi, komunikasi, serta kepemimpinan.

4. Menggunakan Teknologi secara Kontekstual

Alih-alih hanya menggunakan teknologi sebagai alat hiburan, arahkan pada konteks edukatif:

  • Murid membuat infografis perjuangan tokoh lokal.
  • Gunakan AI untuk membuat poster, puisi, atau analisis wacana Proklamasi.
  • Buat peta digital perjuangan daerah dengan Google Maps atau Canva.
  • Rekam podcast siswa bertema “Kemerdekaan Zaman Sekarang”.
    Teknologi menjadi jembatan antara sejarah dan masa kini.

5. Dokumentasikan Proses dan Nilai Belajar (Bukan Sekadar Hasil Lomba)

Alihkan fokus dari sekadar “siapa yang menang lomba” ke “apa yang dipelajari sepanjang proses”. Strategi konkret:

  • Buat portofolio kelas yang memuat dokumentasi kegiatan, foto, refleksi murid, dan kumpulan karya.
  • Gunakan rubrik sederhana untuk menilai partisipasi, kerjasama, dan kreativitas murid.
  • Libatkan murid sebagai student reporter atau jurnalis sekolah yang meliput dan menuliskan narasi pembelajaran selama Agustusan.

Belajar dari Perayaan, Tumbuh dari Pengalaman

Bulan Agustus bukan masa kosong dari pembelajaran, tidak hanya memperingati kemerdekaan, tapi benar-benar menghidupkan semangatnya—melalui anak-anak yang berpikir, merasa, dan bertindak untuk masa depan.

Jika sekolah mampu menyatukan antara perayaan dan pembelajaran, maka bulan Agustus akan menjadi titik penting dalam perjalanan pendidikan murid.

Penulis: Yosua Nala Yudhistira, S.Pd., B.Ed

Share the Post:

Lainnya